culinary / travelling

Napak Tilas Palembang [2]

Diingat oleh salah seorang guru, apalagi guru SD setelah 13 tahun menjadi pengalaman yang luar biasa bagi saya. Saya jadi menyadari bahwa pengabdian seorang guru itu tidak hanya berhenti setelah satu angkatan lulus dan meninggalkan sekolah, masih banyak murid lain yang harus dididik. Dan anak-anak didiknya itu menjadi bukti hasil pengabdian dan kerja keras selama belajar di sekolah. Dan kenangan selama mendidik murid supaya bisa naik ke jenjang kehidupan yang lebih tinggi tidak bisa dilupakan begitu saja, ada keinginan dari guru untuk melihat kondisi anak didiknya sekarang, berharap ia berhasil menjadi manusia yang berhasil dan berguna bagi kehidupan sekitarnya.

Tidak banyak yang sempat saya obrolkan dengan Pak Servasius, meskipun banyak yang ingin saya kupas dari kenangan masa lalu, dari kabar guru-guru saya saat ini, sampai aktivitas beliau sekarang yang masih setia sebagai penjaga perpustakaan di SD ini. Tapi apa boleh buat, pesawat saya untuk kembali ke Jakarta sudah menunggu sore nanti. Saya berjanji, lain waktu kalau ke Palembang lagi, saya akan mampir lagi ke SD Xaverius III.
Beranjak dari sana, saya menyusuri jalan yang dulu menjadi rutinitas tiap hari berangkat dan pulang sekolah. Di salah satu sudut perempatan masih berdiri satu masjid yang dulu sering dipakai saya dan Bapak untuk sholat Jumat. Namanya Masjid Khair, sesuai tulisan papan nama di depannya. Dulu namanya seperti ini atau bukan saya sudah lupa.

Setelah beberapa saat sampailah saya di depan gang rumah saya dulu. Namanya Lorong Sadewa, nama jalan di depannya adalah Jalan Pendawa. Unik kan? Di kota di pulau Sumatera yang lebih kental Melayu-nya, terdapat daerah dengan penamaan jalan dan gang sepeti nama di pewayangan. Selain Lorong Sadewa tadi, terdapat nama lorong lain seperti, Lorong Arjuna, Nakula, Astina, dan semacamnya.

Masuk ke dalam gang, rumah saya dulu masih berdiri dengan bangunan fisik yang masih sama. Masih ada pagar yang dulu sering saya pakai untuk bermain badminton, teras yang penuh dengan pot tanaman, sampai halaman depan dan samping rumah yang cukup luas. Di halaman inilah kami dulu sering mengubur beberapa bangkai kucing yang kami pelihara sampai beberapa keturunan :) Iya, kucing-kucing peliharaan kami itu beranak pinak sehingga beberapa ekor kucing ‘sesepuh’ akhirnya mati, entah karena tua, sampai mati karena keracunan.

Di depan rumah, terdapat lapangan berpagar tinggi, yang sampai sekarang masih ada juga. Sementara di belakang dan di samping rumah, masih terdapat sepetak kecil tanah yang dulu rimbun dan kalau malam sering berbau aneh. Katanya sih, ada ‘apa-apanya’ :) Menapaki jalan-jalan ini membuat pikiran berkilas balik ke masa-masa kecil yang saya rindukan. Masa di mana saya sekolah hingga mengikuti lomba-lomba seperti Cerdas Cermat di TVRI, berseragam Pramuka yang gagah untuk mengikuti persiapan Jambore, bermain perang-perangan atau badminton bersama teman-teman kecil, hingga berlatih sepeda sampai hidung saya babak belur karena menabrak tembok…

Dan semua saksi bisu itu masih berdiri dengan hanya sedikit perubahan kecil di beberapa bagian. Tidak salah kalau saya bilang, ‘waktu seakan berhenti di sini…’.

***
Berkunjung ke Palembang tidak lengkap rasanya jika tidak merasakan kekayaan kuliner di sana. Salah satu makanan yang wajib saya coba adalah : Tekwan! Saya membeli tekwan ini di pinggir jalan, di kaki lima. Penampakannya secara sekilas mirip bakso, tapi dengan komposisi ‘gelindingan’ ikan tengiri, soon (bahasa Indonesianya apa ya? yang jelas bukan ‘so on’ lho…), taburan irisan seledri yang banyak serta kuah bening kecoklatan yang segar. Kemudian ditambah dengan sambal hijaunya yang khas, rasanya luar biasa… Jadi teringat saat saya kecil sering menunggu penjual tekwan lewat di depan rumah di sore hari setelah pulang sekolah, sebagai teman menonton tayangan kartun di TV :) Dulu harganya masih sekitar 200 – 500 rupiah. Di Palembang sendiri, ada dua versi tekwan yang beredar. Satu yang dijual di jalan atau di kaki lima seperti yang saya santap sekarang, dan satu lagi, biasanya disajikan di restoran atau di tempat kondangan. Yang ini komposisinya lebih kaya, antara lain udang, irisan rebung alias bambu muda, dan beberapa topping lainnya. Yang lebih saya sukai? Jelas versi yang pertama..

Makanan kedua yang saya coba adalah Mie Celor. Komposisinya adalah mie gilig kuning dengan kuah kental campuran telur, dan taburan bawang goreng. Kalau makanan ini dulunya sering dijajakan di malam hari, dan jadi makanan hangat yang menyenangkan untuk disantap bersama keluarga.Mencicipi dua makanan nostalgia itu, jadi membuat saya nekad untuk memesan satu porsi tekwan dibungkus ke Jakarta. Dan satu kantong plastik tekwan tersebut akhirnya selamat sampai Jakarta, walaupun entah bagaimana rasanya penumpang di sebelah saya mencium aroma tekwan yang menggoda di dalam kabin pesawat… Ha ha ha…

Selamat tinggal, Palembang… Sampai bertemu lagi!!!

 

Artikel Terkait :

One thought on “Napak Tilas Palembang [2]

  1. hueee….pokoknya kl pergi kemana2 gak pake wisata kuliner rugi banged dah….

    inget pas ke palembang pas puasa romadhon..beuuh, buka puasa aja pake pempek…mules mules deh …:))

    gak nyobain model? pempek bakar…? hmmm enak juga lho Bim

Leave a comment